Senin, 01 November 2010

Tugas Manajemen Proyek Jilid II

Ade Rachmawati(saya-ketua) = 25109999
Adnan Habib Laode =22109825
Aulia Panca Pertiwi = 21109295
Bayu Prasetyo Wicaksono = 26109013


contact person ( 02196640311 ), adekepahati@yahoo.com

Judul Buku = Manajemen Proyek-Menguasai keahlian yang anda perlukan dalam 10 menit
( Ten minute guide project management )

Penulis = Jeff Davidson
Diterjemahkan oleh Sisnuhadi
Diterbitkan oleh ANDI -Yogyakarta-2002



Daftar Isi
Pengantar


1. Anda dipercaya untuk menangani sebuah proyek 1
Elemen-elemen sebuah proyek 1
Perencanaan proyek 9
Implementasi 11
Pengendalian 13
Para pemain proyek yang mungkin terlibat 14


2. Menjadi manager proyek yang baik 17
Seorang pelaku, bukan penonton 17
Banyak topi sepanjang waktu 19
Prinsip-prinsip yang mengendalikan anda 21
Tujuh cara untuk berhasil sbg manajer proyek 28
Tujuh cara untuk gagal sbg manajer proyek 31


3. Apa yang ingin anda capai? 37
Memimpin dan menangani berbagai krisis 37
Pertanyaan-pertanyaan kunci 38
Jadi, apa yang akan kita kerjakan? 40
Tugas-tugas vs Hasil-hasil 42
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan
Hasil-hasil sesuai keinginan yang memungkinkan 44
Bagi manajemen proyek 45


4. Menyusun Rencana anda 49
Tidak ada kejutan-kejutan 49
Cawan suci dan bulu emas 51
Dan tidak ada menjadi ada 52


5. Merangkai rencana anda 71
Jalur kritis untuk menyelesaikan WBS 71
Ayam atau telur? 73
Apakah perencanaan merupakan suatu tugas? 74
Bagaimana dengan waktu-waktu anda? 76
Sumber-sumber internal Vs Sumber-sumber eksternal 76
Membantu staff anda saat proyek selesai 77
Jenis-jenis tugas apa yang membentuk WBS? 79
Tetap memiliki gambar menyeluruh 81
Gambaran umum vs laporan-laporan tanpa akhir 83
Dari perencanaan ke monitoring 84


6. Tetap mengarahkan perhatian pada anggaran 87
Uang tidak akan pernah tumbuh di pohon 87
Hasil-hasil pengalaman 89
Pendekatan tradisional terhadap penganggaran 92
Pengukuran-pengukuran tradisional 93
Masalah-masalah pengangguran Sistematis 99


7. Bagan-bagan Gantt 105
Rencanakan kemajuan anda 105
Variasi-variasi pada tema 109
Hiasan-hiasan menunjukkan detail 110
Mengembalikan proyek pada jalurnya 113
Berpikir ke depan 114


8. Bagan PERT/CPM 117
Proyek-proyek dapat menjadi rumit 117
Masuk ke PERT dan CPM 119
Sebuah kursus pendek 121
Bagaimana jika segalanya berubah? 126
Saya perlu cepat 127
Membuat jaringan 129
Saya dan anak panah 130
Jangan jatuh cinta pada teknologi 132


9. Melaporkan hasil-hasil 135
Banyak saluran komunikasi menyebabkan
sulit dihubungi 135
Mempertimbangkan pendapat pihak lain 147


10. Memilih PM software 149
Dengan menekan mouse 149
Tinggalkan hanya hal baik 150
Pilihan siapa ini? 151
Apa kesenangan anda? 154
Software yang dibuat khusus untuk manajemen proyek 155
Bagaimana anda akan menggunakan PM software? 157


11. Sebuah contoh tentang program-program populer 167
Berita-berita kemarin 167
Disempurnakan dan online 169


12. Bos berlipat, proyek berlipat, pusing pun berlipat 181
Berpartisipasi pada lebih dari satu proyek pada waktu yang sama 181
Kerumitan terjadi 183
Pola yang tersebar 184
Sebuah cerita tentang dua kantor 184
Pemborosan yang tidak perlu 186
Melapor kepada lebih dari satu bos pada saat yang sama 187
Pekerja keras untuk dipekerjakan 189


13. Sebuah kasus kecil tentang konstruksi 193
Membantu menajer konstruksi menjadi lebih efektif 193
Mari kita tunjuk seorang manajer proyek 195
Analisis di kantor Vs Pengamatan lapangan 196
Manara Babel 197


14. Belajar dari pengalaman anda 205
Hidup adalah belajar, demikian juga proyek-proyek 205
Ahli di bidang software 208
Tetap buka mata anda 209
Menyiapkan proyek berikutnya 211


A. Daftar istilah 217
B. Bacaan lebih lanjut 223




>>>>SEKIAN dan terimakasih :)

kutipan cerpen ..

Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.

***

“Ada yang mau request lagu?” tiba-tiba suara itu membuyarkan lamunanku.

Sendirian, aku mencoba untuk mengusir penat setelah seharian bekerja. Temanku memberi tahu bahwa ada café yang menyajikan cappuccino ter-enak yang pernah dia rasakan. Tergoda, dan akupun mampir. Sendiri. Aku baru sadar bahwa ada live music disini karena pertanyaan si penyanyi kafe itu. Request lagu? Aku tertawa dalam hati. Sombong benar pemuda ini. Apa dia bisa menyanyikan semua jenis lagu? Kalau begitu, aku mau request.

“November Rain! Bisa?” aku berseru dari sudut ruangan itu.

“Oh. Emm. Yaah. Bisa, Mbak” jawabmu waktu itu.

When I look into your eyes, I can see a love restrained
But darling when I hold you, don’t you know I feel the same…

November Rain mengalun dari bibir itu beserta petikan gitar yang menambah indah suasana. Boleh juga, pikirku. Aku melirik, di luar hujan masih rintik-rintik. Dan suaramu membuatku enggan untuk beranjak. Aku kembali melayangkan pandangan padamu. Pria yang cukup tampan. Ditambah suara yang bagus untuk bernyanyi. Pastilah banyak perempuan yang bermain mata denganmu. Tiba-tiba imajinasiku bergerak liar membayangkan sesuatu. Aku dan kamu di suatu tempat, bercumbu. Ahhh! Pikiran wanita lajang yang berumur seperempat abad. Aku tertawa sendiri. Tapi, kamu memang tampan.

“Ada yang mau request lagi?” tanyamu lagi.

Aku tidak menyadari bahwa lagu permintaanku sudah selesai dinyanyikan. Berikutnya lagu lain kembali mengalun dari bibirmu. Rasanya semakin malas aku beranjak dari sini. Menikmati cappuccino sembari mendengarkan alunan indah darimu, cukuplah untuk mengusir penatku. Tidak terasa malam semakin pekat. Aku memutuskan untuk pulang saja.

“Terima kasih, Mbak. Datang lagi ya,” ujar pramusaji yang membukakan pintu untukku.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Datang lagi? Mungkin saja. Tapi kalau ada pemuda itu, pastilah aku akan sudi mampir kembali. Haha. Aku pun melirik kearah pemuda itu sebelum keluar. Dan pada saat yang bersamaan si tampan membalas tatapan ku sambil melambaikan tangan. Sial!! Aku jadi deg-degan.

‘Cause nothing last forever, and we both know hearts can change
And it’s hard to hold a candle, in the cold November rain…

Walau sudah bukan November, tapi aku selalu memintamu untuk menyanyikan November Rain. Pertemuan demi pertemuan di café itu membuat kita semakin akrab. Bahkan tak jarang kita menghabiskan waktu bersama di tempat-tempat lain. Sekedar karaoke bersama,ataupun bercerita tentang hidup masing-masing.

“Aku sudah merekam contoh suaraku. Semoga produser itu tertarik,” ujarmu malam itu.

“Suaramu bagus. Semoga rezekimu juga. Kenapa tidak ikut kontes menyanyi saja?” tanyaku.

“Hahaha. Aku sudah pernah, tapi tidak berhasil. Mungkin suaraku tidak cocok dengan selera mereka. Aku yakin suatu hari nanti aku bisa jadi penyanyi terkenal.”

“Aku doakan, Mo.”

Begitulah. Kita saling mendukung satu sama lain. Terus terang, aku tertarik padamu saat itu. Entahlah dengamu. Aku tidak mungkin menanyakannya. Walaupun hidup di zaman serba canggih dan modern, tapi untuk yang satu ini aku tetap bersikap konvensional. Akibatnya, aku selalu bertanya-tanya dalam hati tentang perasaanmu. Aku selalu mengira-ngira apa arti semua perlakuanmu itu. Suka kah? Atau hanya bersikap gentle saja? Seandainya aku pria dan dia perempuannya, maka akan mudah bagi bibirku untuk menanyakan apakah dia suka padaku dan mau menjalin hubungan yang lebih dekat denganku. Itu memang tugas pria kan, untuk menanyakan hal macam itu? Eh, salah ya?

…but lovers always come, and lovers always go
And no one’s really sure who’s letting go today…

“Aku sudah tidak sabar bertemu produser itu, Sin!”

“Waah aku tidak sabar melihatmu di televisi, menjadi selebritis!”

“Hahaha. Selebritis? Perutku mual mendengar itu. Ada-ada saja.”

“Tapi semua itu mungkin kan? Dan tinggal selangkah lagi, Mo. Bersiap sajalah.”

“Hahaha. Apa kalau menjadi selebritis nanti namaku jadi berubah ya?

“Maksudmu?”

“Nama Armo terlihat tidak keren, Sin. Kampung sekali kesannya.”

“Hahahaha. Biar kampung kalau nyanyinya bagus, tetap saja jadi keren.”

“Hahaha. Ada-ada saja. Kamu memang temanku yang terbaik, Sinta.”

***
Oke. Teman. Sebenarnya kata itu cukup menggambarkan perasaanmu padaku bukan? Huh, teman? Tidak rela rasanya aku mendengar kata itu keluar dari mulutmu. Aku ingin lebih! Ah, mulai lagi. Keegoisan seorang Sinta mulai tampak. Dan sifat buruk itu justru muncul pada saat hari-hari terakhir kita bersama, sebelum kamu pergi ke Jakarta dan menemui produser itu. Kemanapun kamu pergi, harus ada aku. Harus. Aku tidak mau membuang kesempatan untuk terus bersama kamu. Aku bertindak seolah-olah tidak ada hari esok. Dan, memang.

Stasiun kereta api, Minggu pagi. Rintik hujan mulai turun. Bulan ini November kedua setelah pertemuan kita pertama kali. Stasiun terlihat ramai entah karena banyaknya orang yang datang ataupun orang-orang yang akan pergi. Beberapa kuli angkut memasang mata kalau-kalau ada yang membutuhkan jasa mereka. Beberapa pedagang asongan masih setia menjaga dagangan mereka. Sementara aku gelisah. Kamu bersikeras tidak mau aku antar. Dan aku bersikeras untuk mengantarmu. Entah kenapa aku merasa sepertinya kamu tidak akan kembali. Lagipula, aku sudah memantapkan hati untuk mengatakan isi hatiku padamu. Melupakan rasa gengsi yang masih bertaut di kepalaku.

“Kenapa, Sin? Hahaha. Sedih ya? Ya ampun Sinta. Bandung-Jakarta itu tidak jauh kan?”

“Bukan itu, Mo.”

“Lantas apa? Pagi-pagi begini wajah cantikmu terlihat muram. Tidak benar itu.”

Aku tersenyum. Kamu memang pintar sekali menggodaku.

“Sebenarnya…seperti apa perasaanmu padaku?” tanyaku akhirnya.


Suasana hening. Aku menunduk dan tidak berani menatap cowok ini. Seketika aku menyesal telah menanyakan hal tersebut. Jangan-jangan dia mengira aku terlalu agresif telah menanyakannya pertanyaan itu.

“Memang kenapa?” tanyamu akhirnya.

“Aku…kamu pasti tau. Aku menyukaimu,” jawabku pelan.


Kembali hening. Tidak ada reaksi apapun dari kamu. Tiba-tiba kereta yang akan membawamu akan segera berangkat. Ah, sialan! Pikirku. Lalu tiba-tiba kamu memegang bahuku.

“Aku harus pergi. Sampai ketemu lagi ya. Nanti aku kabari sesampainya di Jakarta,” ujarmu pelan.

Hah? Itu saja? Lalu bagaimana dengan pertanyaanku?

Kereta api itu akhirnya berlalu dari stasiun. Hujan yang tadinya rintik mulai deras. Tanpa sadar aku menangis. Entah karena malu, sedih, ataupun kecewa. Mengapa dia tidak menjawabnya? Apa susahnya sih? Atau sebenarnya dia hanya menganggapku teman, dan tidak mau menyakitiku sehingga tidak bersedia menjawabnya? Hari itu, aku pulang dengan sejuta tanya.

***
Aku kembali menyesap cappuccino hangat di sudut ruang itu. Ruang yang sama di sebuah café ketika aku melihatmu bernyanyi. Suasana yang sama juga seperti waktu itu. Hujan rintik-rintik. Di sudut inilah aku bisa melihatmu dengan jelas. Menikmati alunan nada yang kau mainkan melalui gitarmu, dan juga suara merdu yang tak pernah bisa kulupakan, sambil sesekali menyesap minuman favoritku.

November datang lagi. Sudah setahun yang lalu sejak kepergianmu mengadu nasib di Jakarta. Sudah setahun lalu sejak pertanyaanku tak pernah terjawab. Sudah setahun lalu sejak kamu berjanji akan mengabariku. Sudah setahun kamu tak pernah mengabariku. Sudah setahun aku mencoba menghubungimu namun selalu gagal. Sudah setahun seolah-olah kita tidak pernah saling kenal.

Sementara hujan mulai deras. Aku memesan kembali segelas cappuccino kepada pramusaji yang sudah tidak asing itu. Dia pasti tahu benar kebiasaanku untuk menikmati cappuccino hangat di sudut ruang ini. Sendiri. Aku memandang sekeliling. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Sama seperti setahun ataupun dua tahun yang lalu. Yang berbeda hanya, tidak ada kamu. Itu saja.

…but if you could heal a broken heart, wouldn’t time be out to charm you…

Di suatu siang. Seminggu yang lalu.

“Berikut adalah new comer di musik Indonesia. Lagu yang berjudul ‘Andai Aku Bisa Mencintaimu’ berhasil duduk sebagai bubbling video minggu ini. Langsung saja saksikan video berikut!” terdengar suara seorang VJ dari televisi rumahku.

Aku sibuk membolak-balik majalah fashion yang baru saja kubeli. Rencananya aku akan meminta temanku yang designer itu untuk membuatkan gaun malam seperti yang dikenakan seorang model dalam majalah itu. Perkawinan sahabat kecilku bulan depan akan menjadi saksi gaun itu pertama kali kupakai. Sayup-sayup aku mendengar suara si penyanyi baru itu. Suara yang tidak asing. Rasa-rasanya aku pernah mendengarnya. Seperti suara….

“Armo!” pekikku tak percaya.

Sosok yang selama ini menghilang dari pandanganku tiba-tiba muncul sebagai seorang selebritis baru. Armo, ternyata kamu berhasil. Tanpa sadar aku tersenyum. Ikut bangga pada keberhasilanmu. Sejenak aku melupakan apa yang pernah terjadi. Melupakan mengapa kamu berlalu begitu saja tanpa kabar apapun. Melupakan sebuah pertanyaan, yang mungkin bodoh, yang aku tanyakan waktu itu. Armo berhasil.

***
Aku meletakkan cangkir yang berisi cappuccino itu di meja. Itu cangkir terakhir untuk hari ini. Hujan mulai reda, lebih baik aku pulang saja. Sementara November Rain mengalun dibelakangku ketika aku meninggalkan café itu. Bukan dari Armo tentu saja. Tapi dari penyanyi café baru yang aku minta untuk menyanyikan lagu itu. Walau nyanyiannya tak sebaik Armo.

…’cause nothing lasts forever, even cold November rain…

***
Armo menginjak pedal rem dalam-dalam. Sore itu hujan cukup deras mengguyur jalanan utama Jakarta. Dia terjebak kemacetan yang biasa terjadi pada saat jam pulang kantor. Di mobil sedan biru itu mengalun November Rain. Lagu yang selalu mengingatkan dia pada Sinta. Dan betapa bersalahnya ia menghilang dari perempuan itu tanpa kabar. Perempuan yang cukup baik yang pernah ia kenal. Armo tak berani membayangkan betapa terlukanya gadis itu bila Armo menjawab pertanyaannya setahun yang lalu. Tidak tega rasanya menyakiti hati gadis yang memepercayainya sepenuh hati.

“Ah. Andai aku bisa mencintaimu, Sinta,” ujar Armo menggumam.

Digenggamnya tangan seseorang disamping joknya dengan erat. Seseorang yang selama ini dicintainya dengan sepenuh hati. Seseorang yang selama ini ia sembunyikan. Seseorang yang juga mencintainya dengan teramat sangat.

“Sudahlah, Mo. Suatu hari nanti kamu harus berterus terang pada Sinta,” ujar orang itu.

“Yah. Suatu hari nanti,” ujar Armo.

“Aku mencintaimu. Kamu tahu itu.”

“Aku juga begitu, Firman,” balas Armo.

Pria itu kemudian semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Armo.

Sore itu hujan deras di Jakarta. Suatu hari nanti, Sinta akan tahu keadaan Armo yang sebenarnya. Semoga dia tidak kecewa.

…everybody needs somebody, you’re not the only one…

beritahu teman anda artikel-artikel bagus dari gen22.blogspot.com

sumber http://whatsup_siska.blogspot.com/2007/11/bersama-hujan.html